Artikel Budaya Teater

 

 

MENGGARAP seni di kota wingko seolah mempunyai kesulitan tersendiri. Setidak-tidaknya itulah yang disambatkan oleh para aktifis seni yang tergabung dalam kemandirian-kiprahnya orang-orang yang berpotongan nyentrik, semacam Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan), DKL (Dewan Kesenian Lamongan) maupun Teater Roda (milik Unisda Lamongan) dan Bengkel Teater Cicak (Moropelang)

 

Betapa tidak ! Masyarakat Babat yang berangkat dari kehiteroginan itu dan dibarengi dengan strata social menengah keatas, agaknya pas dan pantas-pantas saja bila menomor belakangkan formulasi seni. Betapa sulitnya bertamu ke rumah-rumah orang-orang the have. Pintu rumah selalu selalu tertutup, pintu pagar mesti  digembok. Siang hari umek dengan bisnisnya masing-masing. Malam hari sibuk dengan peraduannya. Bila ada tamu yang bertandang ke rumahnya, dengan sigap batur-batur itupun lantas bertutur : “Maaf, tuan rumah baru tidur”

 

Namun fenomena di atas,  bukanlah suatu kendala untuk mengendalikan nafas kesenian di kota yang terletak dipersimpangan jalur Surabaya, Tuban, Bojonegoro dan Jombang itu. Hal ini diawali dengan  tour show-nya Komunitas Teater Suket Indonesia (Jawapos Radar Bojonegoro Edisi, Minggu 1 Juni 2003) yang pada akhirnya menggurita di kalangan pemuda dan pelajar kota Babat.

 

Tak ayal pula, semenjak adanya ‘pancingan’ dari KSI itu nuansa nyentrik mudah saja menggurita di kota Babat. Baru seumur jagung, para kawula muda yang dipandegani oleh Nur Rochim berhasil mendirikan perkumpulan seni yang berjuluk KSP-2 B (Komunitas Seni Pemuda dan Pelajar Babat).

 

 

Sastra – Turangga

 

Proyek seni – proyek seni adalah proyek merugi – yang menggandeng para pemuda dan pelajar (se-jenjang SMA) se-kecamatan Babat itu salah satu agendanya adalah menggebyahkan organisasinya. Pentas  perdana yang diselenggarakan di pendopo Kantor Cabang Dinas P & K Babat itu menampilkan tari jaranan. Gerak dinamis yang diperagakan oleh tiga remaja dengan diiringi gamelan hidup itu membikin decak kagum dan aplaus sekitar 300  pengunjung  dari Gersik, Lamongan, Bojonegoro dan Tuban.

 

 

 

 

 

Kepala Kantor Cabang Dinas P&K Babat melalui Penilik Kebudayaannya, Sumardi sebagai pembina sekaligus sebagai bapak angkat organisasi kesenian malam itu, 10 Januari 2004 dalam sambutan arahannya mengatakan, bahwa acara yang bertajuk Candra Kirana ini adalah sekian kali dari praktek pelajaran di sekolah. “Jika para pelajar diberi ilmu/teori kesenian oleh Bapak-Ibu guru, maka malam ini melalui KSP-2 B, Anda akan merasakan praktek secara langsung di lapangan” kata Sumardi dedengkotnya gamelan Babat itu memberi motifasi.

 

 

Sebagai birokrat di kantornya, penilik yang sangat komit dan peduli terhadap kesenian ini menuturkan, bahwa pemerintah akan berusaha untuk memfasilitasi dan menjembatani dalam rekruitmen anggota melalui lembaga-lembaga sekolah. “Kami akan menyebarluaskan agenda semacam bedah sastra ini kepada seluruh siswa yang ada di wilayah Babat” janjinya. “Anda bisa menambah wawasan secara langsung, bagaimana bentuk tari, musik,  puisi, teater, penyutradaraan dll” kata Pak Mardi yang juga pengurus group campusari Guyub Rukun itu.

 

Memang sementara ini bisa dibaca, bahwa dedengkot-dedengkot yang berkutat di jalur seni, adalah  bukan dari guru kesenian. Dan mereka justru tidak berasal dari latar pendidikan seni maupun sastra. Mungkin mereka itu (guru seni yang tidak berkesenian) punya hitungan lain : menejemen nirlaba. Padahal kita tahu bahwa manakala seseorang itu sudah  bernawaitu    untuk    menghidupkan  perkumpulan seni   ( yang diikuti dengan jiwa yang tulus ikhlas), maka tidak lagi  banyak berharap organisasi itu bisa menghidupinya.

Makannya di bagian lain dari dialog seni dan sastra yang dikerjasamai oleh KSP2-B, Kostela, dan Teater Roda dalam Candra Kirana itu menghadirkan penyair-penyair papan atas semacam Bung Hery Lamongan, Ifoel Mundzuk Agus D.Esa dll. Sedangkan para analis yang dipajang pada acara yang bertepatan dengan bulan purnama itu antara lain : Gampang Prawoto, Amink, A.Yazid dan Alang Khoiruddin.

Nur Rozuqi yang membidangi teater dari DKL ketika di daulat untuk memberikan sepatah dua kata dalam bedah seni yang digelar secara lesehan itu, bernostalgia lewat wacananya, bahwa pada jaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit kala itu adalah gudangnya seni. Mulai rakyat jelata hingga pangeran/sang raja, semuanya berperan di bidang kesenian.

 

Pengirim/Penulis :

AHMAD FANANI MOSAH,

Adalah Pekerja Teater, Guru SMP Negeri 3 Babat

 

 

 

MENGGARAP seni di kota wingko seolah mempunyai kesulitan tersendiri. Setidak-tidaknya itulah yang disambatkan oleh para aktifis seni yang tergabung dalam kemandirian-kiprahnya orang-orang yang berpotongan nyentrik, semacam Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan), DKL (Dewan Kesenian Lamongan) maupun Teater Roda (milik Unisda Lamongan) dan Bengkel Teater Cicak (Moropelang)

 

Betapa tidak ! Masyarakat Babat yang berangkat dari kehiteroginan itu dan dibarengi dengan strata social menengah keatas, agaknya pas dan pantas-pantas saja bila menomor belakangkan formulasi seni. Betapa sulitnya bertamu ke rumah-rumah orang-orang the have. Pintu rumah selalu selalu tertutup, pintu pagar mesti  digembok. Siang hari umek dengan bisnisnya masing-masing. Malam hari sibuk dengan peraduannya. Bila ada tamu yang bertandang ke rumahnya, dengan sigap batur-batur itupun lantas bertutur : “Maaf, tuan rumah baru tidur”

 

Namun fenomena di atas,  bukanlah suatu kendala untuk mengendalikan nafas kesenian di kota yang terletak dipersimpangan jalur Surabaya, Tuban, Bojonegoro dan Jombang itu. Hal ini diawali dengan  tour show-nya Komunitas Teater Suket Indonesia (Jawapos Radar Bojonegoro Edisi, Minggu 1 Juni 2003) yang pada akhirnya menggurita di kalangan pemuda dan pelajar kota Babat.

 

Tak ayal pula, semenjak adanya ‘pancingan’ dari KSI itu nuansa nyentrik mudah saja menggurita di kota Babat. Baru seumur jagung, para kawula muda yang dipandegani oleh Nur Rochim berhasil mendirikan perkumpulan seni yang berjuluk KSP-2 B (Komunitas Seni Pemuda dan Pelajar Babat).

 

 

Sastra – Turangga

 

Proyek seni – proyek seni adalah proyek merugi – yang menggandeng para pemuda dan pelajar (se-jenjang SMA) se-kecamatan Babat itu salah satu agendanya adalah menggebyahkan organisasinya. Pentas  perdana yang diselenggarakan di pendopo Kantor Cabang Dinas P & K Babat itu menampilkan tari jaranan. Gerak dinamis yang diperagakan oleh tiga remaja dengan diiringi gamelan hidup itu membikin decak kagum dan aplaus sekitar 300  pengunjung  dari Gersik, Lamongan, Bojonegoro dan Tuban.

 

 

 

 

 

Kepala Kantor Cabang Dinas P&K Babat melalui Penilik Kebudayaannya, Sumardi sebagai pembina sekaligus sebagai bapak angkat organisasi kesenian malam itu, 10 Januari 2004 dalam sambutan arahannya mengatakan, bahwa acara yang bertajuk Candra Kirana ini adalah sekian kali dari praktek pelajaran di sekolah. “Jika para pelajar diberi ilmu/teori kesenian oleh Bapak-Ibu guru, maka malam ini melalui KSP-2 B, Anda akan merasakan praktek secara langsung di lapangan” kata Sumardi dedengkotnya gamelan Babat itu memberi motifasi.

 

 

Sebagai birokrat di kantornya, penilik yang sangat komit dan peduli terhadap kesenian ini menuturkan, bahwa pemerintah akan berusaha untuk memfasilitasi dan menjembatani dalam rekruitmen anggota melalui lembaga-lembaga sekolah. “Kami akan menyebarluaskan agenda semacam bedah sastra ini kepada seluruh siswa yang ada di wilayah Babat” janjinya. “Anda bisa menambah wawasan secara langsung, bagaimana bentuk tari, musik,  puisi, teater, penyutradaraan dll” kata Pak Mardi yang juga pengurus group campusari Guyub Rukun itu.

 

Memang sementara ini bisa dibaca, bahwa dedengkot-dedengkot yang berkutat di jalur seni, adalah  bukan dari guru kesenian. Dan mereka justru tidak berasal dari latar pendidikan seni maupun sastra. Mungkin mereka itu (guru seni yang tidak berkesenian) punya hitungan lain : menejemen nirlaba. Padahal kita tahu bahwa manakala seseorang itu sudah  bernawaitu    untuk    menghidupkan  perkumpulan seni   ( yang diikuti dengan jiwa yang tulus ikhlas), maka tidak lagi  banyak berharap organisasi itu bisa menghidupinya.

Makannya di bagian lain dari dialog seni dan sastra yang dikerjasamai oleh KSP2-B, Kostela, dan Teater Roda dalam Candra Kirana itu menghadirkan penyair-penyair papan atas semacam Bung Hery Lamongan, Ifoel Mundzuk Agus D.Esa dll. Sedangkan para analis yang dipajang pada acara yang bertepatan dengan bulan purnama itu antara lain : Gampang Prawoto, Amink, A.Yazid dan Alang Khoiruddin.

Nur Rozuqi yang membidangi teater dari DKL ketika di daulat untuk memberikan sepatah dua kata dalam bedah seni yang digelar secara lesehan itu, bernostalgia lewat wacananya, bahwa pada jaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit kala itu adalah gudangnya seni. Mulai rakyat jelata hingga pangeran/sang raja, semuanya berperan di bidang kesenian.

 

Pengirim/Penulis :

AHMAD FANANI MOSAH,

Adalah Pekerja Teater, Guru SMP Negeri 3 Babat

 

About smpn3babat

SEKOLAH ADIWIYATA

Posted on October 20, 2017, in HALAMAN DEPAN, PAK FANANI. Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment